18 Sep 2020, 20:32
Yogi Ramdani Dibaca : 1,993(dr. Leonardo Paskah Suciadi)
Prosedur kateterisasi jantung telah berkembang pesat di praktik klinis dalam beberapa decade terakhir. Dengan kemajuan teknologi saat ini kateterisasi jantung tidak hanya terbatas untuk intervensi koroner pada kasus penyakit jantung koroner (percutaneous coronary intervention/ PCI), prosedur diagnostik, atau penilaian hemodinamik (tekanan dan saturasi ruang-ruang jantung, resistensi vaskular paru). Beberapa prosedur terapeutik telah banyak dilakukan, salah satunya yang tengah berkembang pesat adalah tatalaksana penyakit katup jantung secara transkateter. Tentunya prosedur yang invasif minimal tersebut berpotensi menjadi yang opsi menjanjikan karena sebelumnya terapi definitif bagi kelainan katup jantung hanyalah bedah jantung yang tentunya memiliki risiko tidak kecil, terutama pada penderita usia lanjut dan memiliki banyak penyakit penyerta.
Umumnya kelainan katup jantung yang dapat diterapi secara transkateter adalah kelainan katup mitral dan katup aorta. Intervensi transkutan untuk kasus stenosis mitral mungkin menjadi prosedur yang pertama kali dikembangkan untuk penanganan penyakit katup jantung. Prosedur yang dinamakan percutaneous mitral commisurotomy (PMC) atau lebih popular dikenal sebagai ballon mitral valvuloplasty (BMV) pertama kali dikenalkan oleh Inoue, dkk pada tahun 1984. Prosedur BMV saat ini sudah lazim dilakukan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, untuk kasus stenosis mitral termasuk yang disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Prosedurnya relatif sederhana dan aman, serta efikasi jangka panjangnya baik. Dengan banyaknya kasus penyakit jantung rematik yang mayoritas berupa stenosis mitral, maka BMV telah menyelamatkan begitu banyak pasien yang kebanyakan wanita dalam usia reproduktif dari indikasi operasi maupun perburukan penyakit.
Prinsip kerja BMV secara umum serupa dengan komisurotomi secara operasi, yaitu membuka daun katup mitral yang berfusi karena proses inflamasi kronis, fibrosis dan kalsifikasi. Tentu saja BMV kurang efektif dibandingkan komisurotomi secara operasi dalam kasus stenosis mitral yang disertai fibrosis atau kalsifikasi berat. Oleh karena itu, seleksi pasien yang akan menjalani BMV merupakan tahapan penting untuk mencapai hasil optimal. Prosedur BMV diindikasikan pada stenosis mitral sedang-berat (luas area katup ≤1.5 cm2) yang disertai gejala klinis, atau berisiko tinggi tromboemboli, fibrilasi atrial onset baru, hipertensi pulmonal berat, serta yang akan menjalani proses kehamilan atau operasi besar non-kardiak. Namun prosedur ini dikontraindikasikan apabila ditemukan adanya trombus pada atrium kiri, regurgitasi mitral yang bermakna, kalsifikasi dan fibrosis katup yang berat. Pasien dengan profil demikian lebih dianjurkan untuk menjalani bedah jantung.
Terdapat beberapa teknik BMV yang rutin dipakai dan dikembangkan. Secara umum prosedur dilakukan di ruang kateterisasi jantung dibawah panduan fluoroskopi dan bantuan ekokardiografi, terutama ekokardiografi trans-esofageal. Teknik yang sering dipakai saat ini adalah secara anterograde, yaitu melalui akses dari vena femoral menuju atrium kanan, dilanjutkan dengan pembuatan lubang pada septum interatrial (teknik transeptal) dengan menggunakan jarum Brockenbrough serta dilatornya, sehingga kateter jantung dan balon dapat masuk ke atrium kiri dan mencapai katup mitral. Balon kemudian dikembangkan pada katup mitral, kemudian ditarik keluar kembali. Perbaikan hemodinamik dan derajat stenosis umumnya segera dapat dinilai, disertai dengan perbaikan klinis pasien. Umumnya efektivitas prosedur ini dapat dijumpai hingga jangka panjang, meskipun tindakan BMV ulang terkadang dibutuhkan apabila stenosis mitral bersifat progresif.
Prosedur intervensi transkateter saat ini juga telah dikembangkan dan mulai banyak dilakukan pada kasus regurgitasi mitral kronik. Terdapat beberapa jenis pendekatan intervensi yang pernah dicoba, namun satu-satunya yang disokong oleh bukti klinis yang baik adalah prosedur koreksi edge-to-edge dengan sistem Mitraclip. Prosedurnya menyerupai BMV yaitu melalui akses vena femoral menuju ke atrium kiri dan katup mitral melalui teknik transeptal. Selanjutnya klip yang berbentuk “V” didorong masuk menuju ventrikel kiri dan kemudian ditarik perlahan kearah daun katup mitral saat fase sistolik (saat kedua katup mitral bertemu dan menutup). Klip tersebut kemudian ditempatkan pada bagian tengah daun katup mitral anterior dan posterior sehingga terikat. Ekokardiografi trans-esofageal diperlukan untuk memastikan posisi pemasangan klip yang tepat. Setelah penempatan klip yang optimal, maka peralatan pemasang dicabut sementara klip akan tetap pada posisinya di katup mitral. Seiring waktu akan terbentuk jaringan parut di lokasi klip pada katup mitral tersebut. Prosedur ini akan mengurangi kebocoran atau regurgitasi pada katup mitral.
Data dari penelitian EVEREST (Endovascular Valve Edge-to-Edge Repair Study, tahun 2011) serta berbagai registri di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa Mitraclip memiliki angka keberhasilan prosedural sekitar 75%, serta relatif aman dilakukan bahkan pada pasien dengan klinis buruk. Angka terbebas dari kematian, perburukan regurgitasi mitral, dan indikasi bedah katup jantung dalam waktu 1 tahun pasca prosedural dijumpai pada 55% subjek. Secara umum terdapat perbaikan klinis yang bermakna pada subjek yang menjalani prosedur Mitraclip. Namun prosedur Mitraclip mengurangi derajat regurgitasi mitral kurang efektif jika dibandingkan bedah jantung. Prosedur Mitraclip ini telah dilakukan di beberapa rumah sakit di Jakarta. Penelitian lebih lanjut dan penyempurnaan alat maupun teknik terus dilakukan di seluruh dunia untuk meningkatkan hasil klinis. Salah satu keterbatasan dari prosedur Mitraclip adalah adanya kriteria ekokardiografi yang ketat terhadap kelainan katup mitral sehingga aplikasi klinisnya dalam seleksi pasien menjadi relatif sulit untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Prosedur transkateter juga telah dikembangkan untuk terapi stenosis katup aorta. Prosedur ballon aortic valvuloplasty (BAV) diindikasikan bagi penderita stenosis aorta berat untuk memperbaiki gelaja klinis sembari menunggu rencana operasi katup (bridge to surgery) atau pada penderita dengan hemodinamik tidak stabil yang berisiko tinggi untuk menjalani operasi. Prosedur ini juga dapat dipertimbangkan sebagai terapi paliatif pada pasien yang kontraindikasi operasi maupun bukan kandidat untuk transcatheter aortic valve implantation (TAVI). Tindakan BAV menyerupai BMV, namun dilakukan secara retrograde yaitu dengan akses melalui arteri femoral menuju ke aorta hingga menembus lesi stenotik di katup aorta. Kemudian balon dikembangkan di katup aorta untuk membuka stenosis. Setelah itu, balon kembali di-deflasi dan ditarik keluar bersama dengan peralatan pemasangnya. Hasil optimal apabila didapatkan pelebaran area katup >2 kali lipat atau penurunan transaortik gradien lebih dari 50%.
Prosedur transkateter lainnya yang tengah naik daun adalah transcatheter aortic valve implantation (TAVI) sebagai solusi bagi penderita stenosis katup aorta berat yang bergejala dan memiliki indikasi untuk menjalani bedah jantung, namun berisiko tinggi dikarenakan banyaknya penyakit penyerta yang ada. Prosedur TAVI dengan teknik yang digunakan saat ini memiliki banyak komplikasi yang potensial terjadi sehingga harus dilakukan pada rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah jantung dan ahlinya yang on-site. Prosedur TAVI pertama kali dilakukan pada manusia pada tahun 2002. Sejak itu prosedur ini berkembang pesat dan kini sudah dilakukan rutin di berbagai rumah sakit di Eropa maupun Amerika Serikat .
Konsep TAVI adalah pemasangan katup bioprotesa buatan ke lokasi katup aorta, menimpa katup aorta yang stenotik. Saat ini terdapat 2 macam katup bioprotesa yang banyak dipakai dalam penelitian maupun klinis yaitu katup Edwards-SAPIEN beserta generasi barunya yaitu Edwards-SAPIEN XT, dan katup CoreValve Revalving system (Medtronic). Perbedaan utama keduanya adalah di bentuk katup protesa tersebut serta posisi peletakannya di jantung. Bentuk katup Edwards-SAPIEN yang kecil memungkinkan katup ini dipasang subkoroner (proksimal dari sinus valsalva di aortic root). Proses pemasangannya secara transkateter di ruang kateterisasi jantung dengan dibantu dengan ekokardiografi trans-esofageal. Terdapat 2 teknik berdasarkan akses yang digunakan yaitu secara retrograde melalui arteri femoral dan trans-apikal. Suatu sayatan kecil pada dinding dada kiri bagian lateral diperlukan pada pendekatan trans-apikal untuk membuat akses langsung (punksi) ke apeks ventrikel kiri.
Katup CoreValve diletakkan di sepanjang left ventricular outflow tract (LVOT) hingga aorta asenden karena bentuknya yang berupa corong panjang. Bentuknya yang konkaf demikian memungkinkan perfusi koroner tidak terganggu meskipun katup diletakkan memanjang di daerah sinus Valsalva, tempat ostium arteri koroner berada. Pemasangan katup ini secara retrograde melalui akses arteri femoral, sedangkan pendekatan trans-apikal masih dalam evaluasi.
Prosedur TAVI tergolong relatif rumit dibandingkan prosedur transkateter untuk perbaikan kelainan katup lainnya. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah embolisasi atau terlepasnya katup buatan, regurgitas aorta berat, stroke, aritmia dan blok jantung, disfungsi renal, komplikasi akses vascular, serta obstruksi ostium arteri koroner. Namun jika melihat hasil penelitian dan registri di berbagai rumah sakit, prosedur ini sangat menjanjikan karena persentase keberhasilannya yang dilaporkan lebih dari 75% pada rumah sakit yang baru melakukannya dan lebih dari 90% pada tim yang telah berpengalaman. Manfaat jangka panjangnya juga dilaporkan baik dengan komplikasi periprosedural yang relatif kecil.
Berbagai prosedur transkateter mutakhir untuk penanganan penyakit jantung katup yang telah dibahas diatas memberikan hasil yang menjanjikan. Tentunya penyempurnaan teknik maupun alat masih perlu terus dikembangkan untuk optimalisasi hasil. Sebagai klinisi hendaknya kita turut mengikuti perkembangan teknologi tersebut sambil mengkritisi berdasarkan keilmuan yang ada. Dan jika ada kesempatan, tentunya sangat baik apabila kita turut mempelajari berbagai teknik intervensi tersebut.